Senin, 17 September 2007

Bahlul dan Singgasana Raja

ini ada kisah antara si bahlul {si bodoh} dan singgasana raja , tersebutlah pada zaman pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid {salah satu dongeng yg terkenal negri 1001 malam dan abunawas {arabnya imam abu nuwas} ada seorang yg lugu sebut namanya si bahlul , suatu saat dia mau menghadap sang khalifah harun al-rasyid, syahdan singkat cerita dia berhasil sampai dalam istana, namun di dalam istana di temukannya kosong, lalu dia berpikir ingin mencoba duduk di singgasana sang raja, belum lama berselang masuklah pengawal istana, begitu di lihatnya si bahlul duduk di kursi singgasana, maka marahlah para penjaga istana ini dan mulailah si bahlul di pukuli dan di tendang,

alhasil si bahlul meraung-raung kesakitan di ikutin teriakan minta ampun, khalifah Harun al-rasyidpun keluar dari dalam kamarnya begitu mendengar teriakan bahlul yg kesakitan, "lepaskan ..." perintah sang khaisar, namun si bahlul tetap meraung-raung meminta ampun, "hi bahlul kamu sudah di lepaskan mengapa kamu masih meraung-raung minta ampun " hardik sang kaisar, " ampun paduka, beribu ampun , adapun saya meraung-raung kesakitan dan memohon ampun adalah membayangkan betapa berat yg akan di hadapi sang kaisar, lha wong saya yang baru 5 menit duduk di kursi singgasana saja sudah di pukuli sedemikian hebatnya apalagi paduka yang bertahun-tahun .....", pungkas si bahlul. ruangan itu hening senyap, namun dari relung kesadaran yg paling dalam semua mulai di hinggapi pertanyaan dan mengiyakan perkataan si bahlul bahwa betapa beratnya memikul amanah kepemimpinan ....

moral cerita : betapa beratnya menjadi pemimpin, setiap diri tentulah menjadi pemimpin, paling tidak setiap diri berfungsi menjadi khalifah/ pemimpin untuk dirinya sendiri, dan semua yd ada di dunia ini semua akan di mintai pertanggungjawaban dari sang pemberi........

Rabu, 29 Agustus 2007

Si Kaya dan si Miskin

Write by : Mohamad Sobary
Kemiskinan makin merajalela, seperti rumput ilalang. Dibabat pagi sore tumbuh lagi, dibabat sore pagi tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa mencoba melawannya, tetapi kemiskinan tetap di tempat semula.
Bahkan, bila sikap skeptis di dalam masyarakat benar bahwa si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, maka jelaslah bagi kita, kemiskinan justru sangat agresif, lebih dari strategi dan program-program yang disusun pemerintah.
Sesudah menaklukkan desa, kemiskinan pun bergerak menyerbu kota, dan menduduki banyak bagian kota sehingga di mana-mana lahir kampung kumuh. Tiap jengkal tanah kosong, dihuni kaum gelandangan. Dan muncullah kemudian konsep kaum proletariat kota dari studi-studi antropologi ekonomi yang khusus memperhatikan dinamika kemiskinan kota-kota.
Dan lama-lama orang bertanya, apa gerangan kemiskinan itu sebenarnya? Dari seminar ke seminar, sejak tahun 1970-an, hal itu diperdebatkan di kalangan berbagai ahli.
Semua pihak setuju, kemiskinan bukan hanya perkara tak memiliki harta atau memiliki terlalu sedikit dibanding pihak-pihak lain. Kemiskinan juga bukan suratan nasib. Maka sebutan the unfortunate harus ditolak karena di dunia kita tak hanya menyadongkan tangan ke atas dan yang "diberi" lalu menjadi yang "beruntung" dan sebaliknya yang tak "diberi" menjadi yang "tak beruntung".
Hidup bukan perkara untung-untungan, melainkan perjuangan. Banyak unsur struktural turut memengaruhi mengapa seseorang, atau segolongan orang, atau mayoritas orang di negeri kita tetap miskin. Maka, di seminar ahli-ahli ilmu pengetahuan di Manado, mungkin tahun 1976, dirumuskanlah pemahaman mengenai kemiskinan struktural.
Dan sesudah masalahnya terumus secara meyakinkan seperti itu kita pun tidur nyenyak dan lupa akan urusan kemiskinan, padahal kemiskinan masih melilit sendal jepit presiden dan menteri-menterinya, gubernur, dan bupati-bupatinya, serta wali kota dan camat-camatnya, meskipun sebenarnya mereka hidup sangat jauh dari kemiskinan.
"Hanya orang miskin yang selalu ingat akan kemiskinan," kata orang bijak. Jadi kalau pemimpin negara melupakannya, itu biasa. Dan kalau orang kaya di masyarakat kita tak peduli akan orang miskin itu pun sudah "kodrat" kulturalnya memang begitu.
Maka, kalau kau miskin dan di suatu seminar atau pesta kau ditegur orang kaya yang seolah begitu ramah kepadamu, maka bersyukurlah. Tetapi, jangan mencoba ganti bertanya "apa kabar" kepadanya sebab ia sudah lenyap karena keramahannya tadi hanya basa-basi sebab ia takut padamu.
"Apa yang ditakutkan orang kaya?"
"Ia takut ketika ia kepergok seperti itu kau mengajukan proposal untuk minta bantuan ini dan itu."
>diaL<
Saya gembira mengamati kenyataan sosial kita bahwa banyak orang kaya di kalangan teman-teman atau kenalan sendiri begitu terbirit-birit mendengar kata atau melihat wujud, proposal. Orang kaya dengan mentalitet seperti itu bukan orang kaya sebenarnya. Ia justru miskin dan patut dikasihani melebihi pengemis jalanan karena jiwa mereka amat miskin.
Maka, urusan kaya-miskin bagi saya urusan jiwa. Jangan salah, jiwa bukan hanya menyangkut atau meliputi "rasa", melainkan juga sikap, cara pandang, dan bahkan sampai ke tingkah laku dan segenap ekspresi diri kita dalam hidup. Juga dalam relasi rohaniah kita dengan Tuhan.
Bahkan di hadapan Tuhan pun kita diminta mampu mengembangkan etika untuk merasa memiliki freedom: kebebasan untuk tak tiap saat "meminta", melainkan untuk bisa "memuji", "bersyukur", dan bersikap cukup, karena bersama Tuhan, kata Ghandi, kita bisa hidup tanpa kecemasan, tanpa kemarahan.
Dan sufi perempuan terkemuka, Adawiyah, pun dengan gagah tak mengharap surga karena dalam kebebasan yang begitu indah bersama Tuhan apalah artinya surga? Ketika Amartya Sen bicara Development as Freedom, saya kira ia lebih menekankan arti ketercukupan materi. Ia lupa materi tak pernah membuat orang merasa cukup.
Ia belum pernah bertemu orang kaya yang jiwanya miskin, yang tak punya "freedom" dan lari terbirit-birit karena takut disodori proposal. Ia lupa akan kearifan Ghandi, yang mengingatkan kita bahwa "accumulation of wealth is accumulation of sin".
"Jadi kita tak boleh kaya?"
"Boleh. Bahkan kaya raya pun boleh. Tetapi, jangan bersikap miskin karena dengan begitu kau mengingkari berkah Tuhan, seolah Tuhan tak pernah memberkahimu hingga menjadi kaya macam itu. Tumpukan kekayaan menjadi tumpukan dosa karena jiwa miskin kita mengajak kita ingkar."
Ada kisah orang kaya dan orang miskin yang jiwanya berkebalikan. Ibrahim bin Adham bukan hanya kaya raya. Ia seorang raja. Tetapi, ia merasa tak nyaman dalam kekayaannya. Takut tumpukan kekayaannya hanya akan menjadi tumpukan dosa. Maka ia pun hidup bersahaja sebagai sufi.
Ia pernah bertemu orang kaya yang menawarinya uang. Ia mau menerima uang itu kalau orang itu memang kaya.
"Jangan khawatir. Aku kaya," kata orang itu.
"Berapa banyak nilai kekayaanmu?"
"Lima ribu keping uang mas," jawab orang itu lagi.
"Kau ingin punya sampai sepuluh ribu keping lagi?"
"Mau. Kenapa tidak?"
"Dan kau ingin punya dua kali lipat jumlah itu?"
"Tentu saja. Tiap orang juga begitu."
"Kalau begitu kau orang miskin. Kau lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Simpanlah baik-baik, sampai uang itu menjadi dua kali lipat yang kau inginkan.
"Kebebasan hidupku membuat aku merasa cukup. Jadi, mustahil aku bisa menerima sesuatu dari orang seperti kamu, yang tiap saat ingin memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi."
Hidup memang penuh bunga-bunga semarak dan warna-warni, tetapi jarang yang menjadi buah. Maka, bila harus memilih, saya akan memilih bunga yang bisa menjadi buah. Karena itu saya akan berjuang demi "freedom" tadi agar tak terjajah kekayaan dan tak cemas akan ancaman kemiskinan. Tanpa "freedom" menjadi si kaya tak ada gunanya. Apalagi menjadi si miskin.

Rabu, 22 Agustus 2007

DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN" – 1994

Emha Ainun Najib
S u r u p
PUTARAN zaman yang sedang kita alami sedang berada pada masa surup. Orang Jawa bilang wayah surup. Menjelang senja. Asar hampir habis, magrib akan tiba. Sedang berlangsung pergantian antara terang dengan kegelapan.
Kata para nabi, jangan tidur pada saat-saat demikian. Kalau seseorang tidur menjelang sampai melewati magrib, ia akan mengalami beberapa kebingungan kejiwaan. Rohani manusia sedang sangat lemah. Bahkan dekat dengan kegilaan. Itulah sebabnya, para tukang santet dan tenung sangat menggemari saat-saat demikian dan menggunakannya untuk mengirimkan serangannya, selain saat fajar menjelang pagi.
Tentu saja surupnya sebuah hari adalah bagian dari siklus hari, tetapi ada surup-surup lain dalam siklus yang lebih lama dan lebih besar. Yang sederhana, ada siklus harian, ada siklus mingguan, ada siklus bulanan, tahunan, periode, era, zaman, dan seterusnya. Kalau Anda memakai siklus 7, sebagaimana hampir semua kejadian alam dan sejarah bisa ditandai, maka itu berarti bisa ada siklus 70 tahun, 700 tahun, 7.000 tahun, dan seterusnya. Sampai 7 juta tahun, 7 miliar tahun, sampai kalau Anda menghitung maha panjangnya sejarah alam semesta, maka Anda akan menemukan siklus 7 miliar tahun cahaya misalnya.
Dari indikasi-indikasinya, Anda bisa menghitung kapan gempa, berapa skala Richter, kapan ada kepala negara jatuh, kapan manusia beramai-ramai menjadi binatang dengan segala jenis perilaku budaya yang dibinatangkan. Pada putaran siklus yang mana azab atas umat Nabi Nuh, Luth, dan seterusnya dulu berlangsung? Berapa lama Belanda menjajah Indonesia, berapa lama Jepang menjajah, berapa lama Soeharto berkuasa, dan sampai batas mana kebohongan reformasi sekarang ini akan berakhir?
Pemilu 2004 adalah batas terakhir bagi manusia dan bangsa Indonesia untuk melampiaskan kebodohan, kekonyolan, dan kehinaannya. Karena sesudah itu tak ada puncak yang lebih puncak lagi. Tak ada kebodohan yang lebih bodoh lagi. Tak ada kekonyolan yang lebih konyol lagi. Tak ada kehinaan yang lebih hina lagi.
Di sekiar waktu 2004 adalah saat pergerakan dua arah: satu arus menuju kehancuran dan kematian, arus lain menuju harapan dan kehidupan baru. Anda tinggal mendaftarkan diri kepada yang mana. Di sekitar waktu itu pula manusia Indonesia sedang menentukan pilihan untuk akan hancur sama sekali atau percaya kepada harapan baru. Kalau bangsa Indonesia masih memiliki sisa akal sehat, Pemilu 2004 adalah batas terakhir terciptanya pemerintah yang jahat dan penghina rakyat kecil. Sesudah itu tak ada waktu lagi. Kemungkinannya tinggal dua: gila bersama atau ada kemusnahan yang cukup besar-besaran untuk sebuah matahari baru.
Pada saat surup mata kita rabun. Tidak memiliki daya tangkap yang objektif terhadap cahaya dan terhadap kegelapan. Pada saat surup, akal berada dalam keadaan paling tidak sehat. Orang sudah tidak bisa membedakan pekerjaan mana yang menyelamatkannya dan mana yang mencelakakannya. Orang tidak mengerti kapan merasa bangga kapan merasa malu. Orang tidak paham apa yang harus diungkapkan apa yang harus disembunyikan. Orang hampir tidak punya parameter tentang hampir apa pun. Tak ada baik dan buruk, mulia atau hina, elegan atau konyol. Yang dimengerti hanya satu: yakni menuruti selera dan nafsu sesaat.
Bangsa Indonesia tahu persis bahwa dirinya sengsara berpuluh-puluh tahun, tetapi mereka terus menyembah-nyembah tokoh-tokoh yang bukan hanya tak mampu memberi harapan, tetapi yang bahkan telah terbukti menyengsarakannya selama ini. Mereka bilang anti-KKN, tetapi tiap hari koran-koran mereka memuat Taufik Kiemas seakan-akan dia Presiden Republik Indonesia. Semua ribut anti-Orba, tetapi mereka mengerubungi Mbak Tutut dan mengekspose fotonya di mana-mana. Seandainya ilmu ini sempit, maka hanya satu kalimat yang bisa kita ucapkan: "Bangsa ini hanya punya satu bakat, yakni bakat untuk hancur".
Itulah keadaan surup. Tahukah engkau apa yang sebaiknya engkau lakukan pada saat surup? Begitu banyak orang, dari berbagai profesi, yang berbusung dada merasa dirinya sedang berjaya dan sedikit pun tak mengetahui bahwa sebenarnya dia sedang menuju kehancuran. (29e)
nugie
12-10-2003, 02:36
GUSTI,
seperti kapan saja
kami para hamba
tak berada di mana-mana
melainkan di hadapan Mu jua
ini sangat sederhana
tetapi kami sering lupa
sebab mengalahkan musuh-musuh Mu
yang kecil saja, kami tak kuasa
GUSTI,
inilah tawanan Mu
tak berani menengadahkan muka
mripat kami yang terbuka
telah lama menjadi buta
sebab menyia-nyiakan dirinya
dengan hanya menatap hal-hal maya
GUSTI,
cinta kami kepada Mu tak terperi
namun itu tak diketahui
oleh diri kami sendiri
maka tolong ajarilah kami
agar sanggup mengajari diri sendiri
menyebut nama Mu seribu kali sehari
karena meski hanya sehuruf saja dari Mu
takkan tertandingi
GUSTI,
kami berkumpul disini
untuk mengukur keterbatasan kami
melontarkan beratus beribu kata
seperti buih-buih
melayang-layang di udara
diisap kembali oleh Maha Telinga
sehingga tinggal jiwa kami termangu
menunggu ishlah dari Mu
agar jadi bening dan tahu malu
GUSTI,
kami pasrah sepasrah-pasrahnya
kami telanjang setelanjang-telanjangnya
kami syukuri apapun
sebab rahasia Mu agung
tak ada apa-apa yang penting
dalam hidup yang cuma sejenak ini
kecuali berlomba lari
untuk melihat telapak kaki siapa
yang paling dulu menginjak
halaman rumah Mu
GUSTI,
lihatlah
mulut kami fasih
otak kami secerdik setan
jiwa kami luwes
bersujud bagai para malaikat Mu
namun saksikan
adakah hidup kami mampu begitu ?
langkah kami yang mantap dan dungu
hasil-hasil kerja kami yang gagah dan semu
arah mata kami yang bingung dan tertipu
akan sanggupkah melunasi hutang kami
kepada kasih cinta penciptaan Mu ?
GUSTI,
masa depan kami sendiri kami bakar
namun Engkau betapa amat sabar
peradaban kami semakin hina
namun betapa Engkau bijaksana
kelakuan kami semakin nakal
namun kebesaran Mu maha kekal
nafsu kami semakin rakus
tapi betapa rahmat Mu tak putus-putus
kemanusiaan kami semakin dangkal
sehingga Engkau menjadi terlampau mahal
GUSTI,
kamilah pesakitan
di penjara yang kami bangun sendiri
kamilah narapidana
yang tak berwajah lagi
kaki dan tangan ini
kami ikat sendiri
maka hukumlah dan ampuni kami
dan jangan biarkan terlalu lama menanti
begawan
12-10-2003, 17:19
dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan
jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku
mulai berpikir untu
k mencari kemuliaan hidup,
mencari derajat tinggi dihadapanMu
sambil merasa cukup atas kekuasaan dan kekayaan yang telah ditumpuknya


dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan
untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku,
untuk menghalau dengki dari bumi
untuk menyuling hati manusia dari cemburu yang bodoh dan rasa iri


dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan
demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan
tumbangnya pohon-pohon nilaiMu di perkebunan dunia
serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya
menanam pohon-pohonMu yang baru


ambillah hidupku sekarang juga,
jika itu memang diperlukan untuk mengongkosi tumbuhnya ketulusan hati,
kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia


hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini,
jadikan duka deritaku ini makanan
bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan,
asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMu


jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di hati satu orang hambaMu
diperlukan tumbal sebatang jari-jari tanganku, maka potonglah
potonglah sepuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepuluh berikutnya
seratus berikutnya dan seribu berikutnya,
sehingga lubuk jiwa beribu-ribu hambaMu
menjadi terang benderang karena keikhasan


jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan
dibutuhkan kekalahan pada hambaMu yang lain,
maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu
ia menundukkan wajahnya dihadapanMu


jika untuk mengusir muatan kedunguan dibalik kepandaian hambaMu
diperlukan kehancuran pada hambaMu yang lain,
maka hancurkan dan permalukan aku,
asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakir dihatinya


jika syarat untuk mendapatkan kebahagiaan
bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya,
maka sengsarakanlah aku
jika jalan mizanMu di langit dan bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku,
maka unggulkan mereka, tinggikan derajat mereka di atasku
jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu
adalah penyadaran akan kegelapan, maka gelapkan aku,
demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu


demi Engkau wahai Tuhan yang aku ada kecuali karena kemauanMu,
aku berikrar dengan sungguh-sungguh
bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang aku dambakan,
bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan,
serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang kuhauskan


demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku,
aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat,
hidupku hanyalah memandangMu
sampai kembali hakikat tiadaku
EMHA AINUN NADJIB
DARI KUMPULAN PUISI "DOA MOHON KUTUKAN" – 1994