Rabu, 29 Agustus 2007

Si Kaya dan si Miskin

Write by : Mohamad Sobary
Kemiskinan makin merajalela, seperti rumput ilalang. Dibabat pagi sore tumbuh lagi, dibabat sore pagi tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa mencoba melawannya, tetapi kemiskinan tetap di tempat semula.
Bahkan, bila sikap skeptis di dalam masyarakat benar bahwa si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, maka jelaslah bagi kita, kemiskinan justru sangat agresif, lebih dari strategi dan program-program yang disusun pemerintah.
Sesudah menaklukkan desa, kemiskinan pun bergerak menyerbu kota, dan menduduki banyak bagian kota sehingga di mana-mana lahir kampung kumuh. Tiap jengkal tanah kosong, dihuni kaum gelandangan. Dan muncullah kemudian konsep kaum proletariat kota dari studi-studi antropologi ekonomi yang khusus memperhatikan dinamika kemiskinan kota-kota.
Dan lama-lama orang bertanya, apa gerangan kemiskinan itu sebenarnya? Dari seminar ke seminar, sejak tahun 1970-an, hal itu diperdebatkan di kalangan berbagai ahli.
Semua pihak setuju, kemiskinan bukan hanya perkara tak memiliki harta atau memiliki terlalu sedikit dibanding pihak-pihak lain. Kemiskinan juga bukan suratan nasib. Maka sebutan the unfortunate harus ditolak karena di dunia kita tak hanya menyadongkan tangan ke atas dan yang "diberi" lalu menjadi yang "beruntung" dan sebaliknya yang tak "diberi" menjadi yang "tak beruntung".
Hidup bukan perkara untung-untungan, melainkan perjuangan. Banyak unsur struktural turut memengaruhi mengapa seseorang, atau segolongan orang, atau mayoritas orang di negeri kita tetap miskin. Maka, di seminar ahli-ahli ilmu pengetahuan di Manado, mungkin tahun 1976, dirumuskanlah pemahaman mengenai kemiskinan struktural.
Dan sesudah masalahnya terumus secara meyakinkan seperti itu kita pun tidur nyenyak dan lupa akan urusan kemiskinan, padahal kemiskinan masih melilit sendal jepit presiden dan menteri-menterinya, gubernur, dan bupati-bupatinya, serta wali kota dan camat-camatnya, meskipun sebenarnya mereka hidup sangat jauh dari kemiskinan.
"Hanya orang miskin yang selalu ingat akan kemiskinan," kata orang bijak. Jadi kalau pemimpin negara melupakannya, itu biasa. Dan kalau orang kaya di masyarakat kita tak peduli akan orang miskin itu pun sudah "kodrat" kulturalnya memang begitu.
Maka, kalau kau miskin dan di suatu seminar atau pesta kau ditegur orang kaya yang seolah begitu ramah kepadamu, maka bersyukurlah. Tetapi, jangan mencoba ganti bertanya "apa kabar" kepadanya sebab ia sudah lenyap karena keramahannya tadi hanya basa-basi sebab ia takut padamu.
"Apa yang ditakutkan orang kaya?"
"Ia takut ketika ia kepergok seperti itu kau mengajukan proposal untuk minta bantuan ini dan itu."
>diaL<
Saya gembira mengamati kenyataan sosial kita bahwa banyak orang kaya di kalangan teman-teman atau kenalan sendiri begitu terbirit-birit mendengar kata atau melihat wujud, proposal. Orang kaya dengan mentalitet seperti itu bukan orang kaya sebenarnya. Ia justru miskin dan patut dikasihani melebihi pengemis jalanan karena jiwa mereka amat miskin.
Maka, urusan kaya-miskin bagi saya urusan jiwa. Jangan salah, jiwa bukan hanya menyangkut atau meliputi "rasa", melainkan juga sikap, cara pandang, dan bahkan sampai ke tingkah laku dan segenap ekspresi diri kita dalam hidup. Juga dalam relasi rohaniah kita dengan Tuhan.
Bahkan di hadapan Tuhan pun kita diminta mampu mengembangkan etika untuk merasa memiliki freedom: kebebasan untuk tak tiap saat "meminta", melainkan untuk bisa "memuji", "bersyukur", dan bersikap cukup, karena bersama Tuhan, kata Ghandi, kita bisa hidup tanpa kecemasan, tanpa kemarahan.
Dan sufi perempuan terkemuka, Adawiyah, pun dengan gagah tak mengharap surga karena dalam kebebasan yang begitu indah bersama Tuhan apalah artinya surga? Ketika Amartya Sen bicara Development as Freedom, saya kira ia lebih menekankan arti ketercukupan materi. Ia lupa materi tak pernah membuat orang merasa cukup.
Ia belum pernah bertemu orang kaya yang jiwanya miskin, yang tak punya "freedom" dan lari terbirit-birit karena takut disodori proposal. Ia lupa akan kearifan Ghandi, yang mengingatkan kita bahwa "accumulation of wealth is accumulation of sin".
"Jadi kita tak boleh kaya?"
"Boleh. Bahkan kaya raya pun boleh. Tetapi, jangan bersikap miskin karena dengan begitu kau mengingkari berkah Tuhan, seolah Tuhan tak pernah memberkahimu hingga menjadi kaya macam itu. Tumpukan kekayaan menjadi tumpukan dosa karena jiwa miskin kita mengajak kita ingkar."
Ada kisah orang kaya dan orang miskin yang jiwanya berkebalikan. Ibrahim bin Adham bukan hanya kaya raya. Ia seorang raja. Tetapi, ia merasa tak nyaman dalam kekayaannya. Takut tumpukan kekayaannya hanya akan menjadi tumpukan dosa. Maka ia pun hidup bersahaja sebagai sufi.
Ia pernah bertemu orang kaya yang menawarinya uang. Ia mau menerima uang itu kalau orang itu memang kaya.
"Jangan khawatir. Aku kaya," kata orang itu.
"Berapa banyak nilai kekayaanmu?"
"Lima ribu keping uang mas," jawab orang itu lagi.
"Kau ingin punya sampai sepuluh ribu keping lagi?"
"Mau. Kenapa tidak?"
"Dan kau ingin punya dua kali lipat jumlah itu?"
"Tentu saja. Tiap orang juga begitu."
"Kalau begitu kau orang miskin. Kau lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Simpanlah baik-baik, sampai uang itu menjadi dua kali lipat yang kau inginkan.
"Kebebasan hidupku membuat aku merasa cukup. Jadi, mustahil aku bisa menerima sesuatu dari orang seperti kamu, yang tiap saat ingin memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi."
Hidup memang penuh bunga-bunga semarak dan warna-warni, tetapi jarang yang menjadi buah. Maka, bila harus memilih, saya akan memilih bunga yang bisa menjadi buah. Karena itu saya akan berjuang demi "freedom" tadi agar tak terjajah kekayaan dan tak cemas akan ancaman kemiskinan. Tanpa "freedom" menjadi si kaya tak ada gunanya. Apalagi menjadi si miskin.

Tidak ada komentar: